
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
ADA tiga hal yang sedang berkembang. Pertama, mereka memiliki pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang agama, terutama apabila mereka dibesarkan dengan perintah-perintah tanpa membangun cara berpikir mereka tentang tuhan. Mereka hanya dikenalkan dengan aturan-aturan tanpa memperoleh pendidikan akidah yang memadai. Kedua, mereka sedang ingin menunjukkan otoritas dan kemampuannya; bahwa mereka mampu bertanggung-jawab penuh atas diri mereka sendiri. Mereka ingin menjadi pribadi mandiri. Ketiga, mereka mulai memiliki ketertarikan terhadap lawan jenisnya dan ingin memiliki ikatan emosi yang bersifat khusus.
Apakah remaja merupakan masa keguncangan (storm & stress) dimana mereka mengalami krisis identitas? Tidak selalu demikian. Mari kita buka buku karya John W. Santrock yang berjudul Adolescence (2001). Kita melihat di sana bahwa ada remaja yang mengalami krisis identitas –dan banyak jumlahnya—sehingga tidak sedikit yang berperilaku aneh, tetapi ada pula yang tidak mengalami krisis identitas. Mereka memasuki masa remaja dengan identitas yang sangat kokoh. Inilah yang disebut sebagai identity foreclosure.
Tentu bukan kebetulan kalau mereka tidak mengalami krisis identitas. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan mereka mampu memasuki masa remaja dengan identitas diri yang jelas dan kepribadian yang mantap? Jawabnya bisa kita runut pada masa sebelum mereka memasuki usia remaja. Anak-anak yang tidak mengalami krisis identitas itu adalah mereka yang sebelum memasuki masa remaja telah memiliki orientasi hidup yang benar, tujuan hidup yang jelas dan nilai-nilai yang kuat.
Dari tiga hal tersebut, mana yang paling berpengaruh terhadap kehidupan remaja?
ADA tiga hal yang sedang berkembang. Pertama, mereka memiliki pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang agama, terutama apabila mereka dibesarkan dengan perintah-perintah tanpa membangun cara berpikir mereka tentang tuhan. Mereka hanya dikenalkan dengan aturan-aturan tanpa memperoleh pendidikan akidah yang memadai. Kedua, mereka sedang ingin menunjukkan otoritas dan kemampuannya; bahwa mereka mampu bertanggung-jawab penuh atas diri mereka sendiri. Mereka ingin menjadi pribadi mandiri. Ketiga, mereka mulai memiliki ketertarikan terhadap lawan jenisnya dan ingin memiliki ikatan emosi yang bersifat khusus.
Apakah remaja merupakan masa keguncangan (storm & stress) dimana mereka mengalami krisis identitas? Tidak selalu demikian. Mari kita buka buku karya John W. Santrock yang berjudul Adolescence (2001). Kita melihat di sana bahwa ada remaja yang mengalami krisis identitas –dan banyak jumlahnya—sehingga tidak sedikit yang berperilaku aneh, tetapi ada pula yang tidak mengalami krisis identitas. Mereka memasuki masa remaja dengan identitas yang sangat kokoh. Inilah yang disebut sebagai identity foreclosure.
Tentu bukan kebetulan kalau mereka tidak mengalami krisis identitas. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan mereka mampu memasuki masa remaja dengan identitas diri yang jelas dan kepribadian yang mantap? Jawabnya bisa kita runut pada masa sebelum mereka memasuki usia remaja. Anak-anak yang tidak mengalami krisis identitas itu adalah mereka yang sebelum memasuki masa remaja telah memiliki orientasi hidup yang benar, tujuan hidup yang jelas dan nilai-nilai yang kuat.
Dari tiga hal tersebut, mana yang paling berpengaruh terhadap kehidupan remaja?
Jika sekolah secara terencana memiliki penghargaan yang sangat tinggi terhadap usaha yang gigih, maka remaja akan cenderung lebih mengembangkan kompetensi, kreativitas serta kapasitas mereka untuk mandiri.
Sebaliknya jika lingkungan sekolah justru merupakan tempat pertaruhan gengsi dimana anak merasa tersisih jika tidak punya HP, maka krisis identitas mudah terjadi dan ketertarikan terhadap lawan jenis beserta turunannya berkembang lebih pesat daripada aspek-aspek lainnya.
Jika sekolah mampu membangun budaya belajar yang kuat, mereka akan tumbuh sebagai manusia yang kaya gagasan, penuh inovasi dan memiliki keberanian tinggi untuk berusaha dan siap menghadapi kegagalan. Ini merupakan bekal berharga untuk menjadi manusia tangguh dan sukses. Adapun dorongan terhadap lawan jenis, jika memperoleh pembinaan yang tepat, akan berkembang menjadi kesiapan berumah-tangga, orientasi untuk berkeluarga, penghormatan terhadap orangtua dan rasa tanggung-jawab terhadap yang usianya lebih mudah.
Dorongan untuk menyukai lawan jenis bisa berkembang “ke kiri” sehingga remaja menyibukkan diri dengan urusan syahwat, bisa berkembang “ke kanan” sehingga remaja mengembangkan cinta yang tulus, minat terhadap masalah rumah-tangga, kasih-sayang kepada sesame dan rasa tanggung-jawab terhadap keluarga. Yang disebut terakhir ini sekaligus berperan penting menguatkan aspek kedua, yakni dorongan untuk mandiri.
Adapun jika dorongan memperoleh pembinaan dan arah yang baik akan berkembang menjadi penghormatan terhadap lawan jenis, penjagaan diri dari kemaksiatan dan keinginan yang kuat untuk memiliki rumah-tangga yang ideal. Dalam hal ini, contoh nyata yang menginspirasi sangat besar perannnya.
Akan lebih baik lagi jika kita mampu melakukan perubahan pada tingkat kebijakan media massa; sumber kerusakan sosial yang paling dahsyat dan memperoleh perlindungan maksimal di negeri ini dengan berlindung di balik baju kebesaran bernama hak asasi dan kebebasan pers.
Ada yang harus kita kerjakan. Ada dua pilihan: kita mengikuti arus mereka atau memutar arah berpikir mereka. Pilihan pertama lebih ringan menjalaninya, tapi siapkah kita mempertanggungjawabkannya di akhirat kelak apabila mereka menjadi musuh di hadapan Allah Ta’ala? Bahkan, jangan-jangan sebelum mati pun, mereka telah amat menyusahkan kita.*